Oleh: Mang Aban
Porosmedia.com – KONFLIK yang terjadi di Timur Tengah saat ini bisa dilihat dari 2 prespektif. Ngerti Ora Son!
Pertama, meningkatnya konflik di Timur Tengah dalam satu bulan kebelakang adalah kelanjutan perjuangan kemerdekaan Palestina dari penjajahan Israel.
Sudah 38 Resolusi PBB dikeluarkan dan semuanya tak ada yang bisa membantu Palestina Merdeka. Malah, kini Palestina sudah hampir terhapus dari peta dunia.
Wilayah Gaza saja mungkin bakal tinggal separo dalam hitungan minggu. Sementara, Tepi Barat dan Yerusalem Timur sudah lama diduduki. Pemerintahan Palestina di bawah Mahmud Abas hanya kepanjangan tangan Israel dan dijadikan bukti bahwa Palestina sudah takluk pada negara zionis itu.
Dukungan negara-negara Liga Arab makin lama makin melemah. Palestina sudah ditinggalkan berjuang sendiri.
Betul rakyat negara-negara Arab tetap mendukung dan memberikan solidaritasnya pada rakyat Palestia. Tapi, setengah dari pemimpin negara Arab sudah tak ingin lagi berkonflik dengan Israel dan tak lagi berkomitmen penuh mendukung kemerdekaan Palestina.
Bisa saja para pemimpin negara Arab sudah terlanjur nyaman dengan manisnya kekuasaan yang kini mereka miliki. Mereka hanya fokus mengamankan kekuasaan atau setidaknya mengejar ambisi ekonomi dan politik negara masing-masing.
Terbaru, di Ryad Arab Saudi, Negara-negara Arab terpecah. Usulan Aljazair untuk bertindak nyata dan keras pada Israel hanya didukung oleh 12 negara (Ajazair, Suriah, Iran dll). Sementara sisanya menolak dan abstain (Arab Saudi, Mesir, UEA, dll).
Bahkan mereka sudah tak mau lagi melakukan embargo minyak.
Para pemimpin negara Arab yang menolak tersebut pada dasarnya ikut terlibat bersama Israel dalam membunuh lebih dari 11.000 warga Palestina termasuk didalamnya lebih dari 5.000 anak-anak dan perempuan. Pasalnya, Minyak yang mereka alirkan ke Israel digunakan oleh mesin-mesin perang IDF dalam membunuh penduduk Palestina dan meratakan kota Gaza dan sekitarnya termasuk, rumah sakit dan Masjid.
Semua pernyataan sebagaian besar pemimpin negara Arab dan bantuan mereka hanya alakadarnya, sekedar tak ingin kehilangan muka dihadapan rakyat mereka dan negara-negara Arab lainnya.
Bahkan, Liga Arab berusaha melempar tanggungjawab itu ke negara-negara Organisasi Konfrensi Islam (OKI) dengan menyatukan perundingan Liga Arab di Riyad dengan Perundingan OKI.
Hasilnya, kembali berbentuk pernyataan yang diklaim paling keras yang pernah dikeluarkan OKI terkait konflik Palestina. Media di Indonesia membumbui, Presiden Joko Widodo diberi amanat untuk “melaporkan” hasil pertemuan OKI itu ke Presiden Biden di Washington.
Sementara, corong AS, CNN dan VOA menyebut bila pertemuan Jokowi-Biden cuma membahas “urusan dagang” Indonesia-AS, termasuk dagang nikel dan mineral lainnya yang selam ini terkendala urusan pengenaan tarif pajak AS.
Apakah Ke 13 pernyataan OKI tersebut benar-benar akan “diperjuangkan” Jokowi atau sekedar dijadikan lahan pencitraan?
Kita tunggu saja, kedatangan Jokowi ke AS akan berhasil “membujuk” Biden atau tidak.
Jika kemudian AS menekan Israel untuk menghentikan serangan ke Gaza berarti kedatangan Jokowi memang mengemban amanat OKI.
Namun, jika kemudian yang dihasilkan adalah “kesepakatan dagang” baru AS-Indonesia, artinya memang keberangkatan Jokowi menemui Biden sekedar urusan dagang saja. Atau bahkan menjadikan, kesepakatan OKI sebagai alat bargaining kepentingan dagang.
Kedua, meningkatnya eskalasi di Timur Tengah adalah upaya negara-negara Barat untuk mengalihkan magnitude konflik dari Ukraina ke Palestina.
Bisa jadi, AS dan NATO saat ini sudah “capek ” memainkan konflik di Ukraina, begitu juga Rusia. Bisa saja kedua belah pihak diam-diam sudah bersepakat untuk menetapkan status quo di Ukraina.
NATO dan Amerika tak mau perang Rusia-Ukraina itu meluas ke seluruh daratan Eropa dan membawa kerusakan fisik dan ekonomi lebih lanjut. Negara-negara Eropa tak mau lagi babak belur karena saling berperang, sementara China, India dan negara-negara Asia lain termasuk Timur Tengah terus tumbuh dan menjadi kekuatan baru dunia.
Kini negara-negara Barat ingin mengekspor perang ke Timur Tengah dan memancing negara-negara Liga Arab untuk terjebak lagi dalam perang yang akan menguras banyak sumber daya manusia dan kekayaan alamnya. Diharapkan, perang itu akan menghentikan momentum pertumbuhan mereka jadi negara-negara kuat.
Rusia, tentu saja Putin senang jika AS dan NATO kini mengalihkan seluruh atau sebagaian sumber dayanya untuk membuka perang di Timur Tengah.
Setidaknya, Rusia bisa rehat atau ada kesempatan menahan supaya sumberdaya mereka tak terus terkuras untuk membiayai perang di Ukraina. Syukur-syukur, meluasnya konflik di Timur Tengah justru membuat Industri senjata Rusia kebanjiran orderan dari negara-negara Arab.
Terus bagaimana nasib rakyat Palestina? Akankah Palestina jadi negara merdeka?
Seperti kata para pemuda dan Ibu-ibu Palestina, Hasbialloh Wani’mal Wakil…
Wallohualam.