Porosmedia.com — Peran dan tugas Hasyim Asyhari sebagai Ketua KPU selama ini yang tampaknya seperti ‘kebal hukum’ akhirnya terhenti semenjak 3 Juli 2023. Hal itu katena DKPP akhirnya menjatuhkan sanksi dan mengetukan palunya dengan memecat Hasyim sebagai Ketua dan Komisioner KPU.
Selama periode satu setengah tahun ini, Hasyim telah lebih tiga kali memperoleh sanksi peringatan hingga peringatan keras berkali kali oleh DKPP. Hal itu disebabkan pelanggaran hukum dan kode etik penyelenggaraan pemilu.
Misalnya pada Maret 2023, DKPP memutuskan Hasyim melanggar kode etik karena pernyataannya soal sistem proporsional tertutup. Kemudian DKPP juga telah menjatuhkan sanksi ‘peringatan keras’ berkali kali kepada Hasyim. Termasuk pada April 2023, sanksi peringatan keras terakhir kasus hubungan pribadinya (affair) dengan Hasnaeni Moein alias ‘Wanita Emas’.
Pada Oktober 2023, Hasyim diberi sanksi peringatan keras terkait keterwakilan caleg perempuan yang bertentangan dengan UU Pemilu.
Termasuk kasus kontroversial pada Februari 2024, DKPP lagi-lagi memberikan sanksi peringatan keras kepada Hasyim dan enam anggota KPU. Hal itu karena KPU menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024.
Termasuk Hasyim tidak menjalankan putusan PTUN Jakarta, untuk memasukkan nama Irman Gusman ke Daftar Calon Tetap (DCT) anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Pemilu 2024.
Kemudian pada bulan Mei 2024 DKPP lagi-lagi menjatuhkan sanksi berupa peringatan keras kepada Hasyim dan semua anggota KPU soal kebocoran ratusan data pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024
Puncaknya, adalah sanksi pemecatan yang dijatuhkan oleh DKPP terhadap Hasyim dalam pengucapan putusannya di Jakarta, Rabu (3/7).
Keputusan tersebut sudahlah layak dan tepat, karena pelanggarannya dilakukan secara vulgar dan tanpa keraguan (beyond reasonable doubt). Peristiwa berupa pelanggaran administratif dan asusila faktanya telah dilakukan secara berulang oleh Hasyim. Sejak awal Hasyim terbukti secara pribadi berhubungan intim dengan si ‘wanita emas’, sangat berpengaruh terhadap citra dan kredibilitas KPU selaku lembaga penyelenggara pemilu.
Kelakuan tragis dan sangat tercela Hasyim akhirnya terungkap, karena peristiwa ‘sexual dan biadabnya’, terhadap seorang perempuan yang diadukan CAT anggota PPLN Den Haag.
Melalui amar Putusan DKPP No 90-PKE-DKPP/V/2024 tanggal 3 Juli 2024, merupakan sanksi hukuman kelima (terakhir) yang membuat Hasyim ‘tidaklah sakti’ lagi. Kelakuan hedonis dan sexual Hasyim telah menghancurkan independensi KPU, akhirnya dipecat oleh DKPP, setelah empat kali menerima sanksi “peringatan keras” pelanggaran etik kepada Komisioner KPU.
Peristiwa pemecatan Hasyim tersebut, patutlah dijadikan ‘entering poin’ dalam ‘Gibran Gate’ yaitu perihal penerimaan dan pendaftarannya sebagai Cawapres 2024. Kasus yang telah menabrak PKPU No 19 tahun 2023 mengenai persyaratan batas usia 40 tahun, karena belum diubah dengan PKPU baru. Oleh karenanya kejahatan tersebut dapat dibongkar kembali, karena telah cacat moral dam hukum.
Komposisi komisioner KPU yang tersisa saat ini, haruslah diawasi Bawaslu secara disiplin dan melekat. Tidaklah seperti saat ini, pengawasan Bawaslu tampak sangat kendor dan kalah wibawa dihadapan Komisioner KPU.
Hasyim, sebagai pejabat publik telah mencoreng legitimasi (tidak berintegritas) hasil pemilu 2024 oleh KPU. Kerusakan moral (Moral hazard) seorang Hasyim, sedemikian bejatnya, sehingga sangatlah tidak layak dan patut dilakukan seorang ketua KPU. Hal tersebut sangatlah mungkin berpengaruh negatif atas keabsahan segala proses penyelenggaraan dan keputusan (output) KPU terhadap pemilu 2024 yang ‘clean and clear’.
Ironisnya lagi, Hasyim sebagai khotib Idul Adha tahun ini di hadapan Presiden Jokowi, khutbahnya tentang manusia berkaraker hewan yang harus disembelih. Akhirnya, Allah Swt telah menghukumnya dengan “senjata makan tuan”, sebagai teladan pemimpin berkarakter buruk dan bejat seperti itu.
Jakarta, 5/7/24
Adv. Juju Purwantoro
Presidium Forum AKSI (Alumni Kampus Seluruh Indonesia)