Sumber Informasi Independen, Aktual dan Terpercaya
IndeksPoros Media TV

Pemilu dan Edukasi Politik

Oleh : Dwi Mukti Wibowo

Jajat Sudrajat
Dwi Mukti Wibowo S.H, M.H

Porosmedia.com – Politik, demokrasi dan pemilu ketiganya ibarat senjata trisula. Yang secara filosofis mempresentasikan tiga entitas. Memiliki nilai yang sama dan saling menguatkan. Peran ketiganya menghasilkan pemerintahan yang legitimate disebuah negara. Kepercayaan masyarakat pada demokrasi dan politik dimulai dari kepercayaan terhadap pemilu. Untuk menghasilkan demokrasi berkualitas dan politik yang representatif, pemilu harus dilaksanakan secara “Luber” dan “Jurdil”. Yaitu tidak adanya politik identitas, politisasi, politik uang dan pemberitaan hoax. Pemilu adalah variabel paling mendasar dalam sistem politik demokrasi.

Saat ini, Indonesia mampu menyelenggarakan pemilu secara berkala. Pemerintahan “dari, oleh, dan untuk rakyat” telah memenuhi persyaratkan keterlibatan penuh masyarakat yang menjalankan pemilu sebagai pintu masuknya. Menurut Wahlke (1971; dalam Bishin, 2009:40), idealnya pemilu menjadi cara masyarakat untuk mengevaluasi perilaku politisi. Secara konseptual, pemilu dirancang sebagai wujud legitimasi masyarakat atas perilaku mereka. Apabila masyarakat cenderung abai dan apatis, maka legitimasi rezim dan kemampuan masyarakat untuk memerintah dirinya sendiri bakal dipertanyakan. Atau malah disangsikan.

Demokrasi di Indonesia tumbuh sebagai sistem hasil cangkokan negara-negara Barat dan diimplementasi secara top-down. Masyarakat diposisikan sebagai pengikut; harus patuh pada sistem dan hukum, termasuk Pemilu. Sehingga Pemilu menjadi sebuah sistem yang taken for granted. Dampaknya cukup jelas; masyarakat tak merasa menjalankan pemerintahan. Seperti tampak pada paradigma state-centered. Dari keluhan personal, konflik komunitas, bahkan sampai ke masalah iman, semuanya diadukan ke negara dan diserahkan pada negara seutuhnya untuk diatur. Padahal, tatanan yang demokratis idealnya meminimalisir intervensi negara dan menguatkan peran masyarakat sipil. Sebagaimana  dikatakan Singerman dan Hoodfar (1996), inti politik demokrasi adalah distribusi sumber daya dengan seadil mungkin kepada seluruh elemen masyarakat. Negara harus menyediakan ruang bagi keterlibatan seluruh warga negara dalam pembuatan keputusan (decision-making) (Phillips, 1993:5). Negara harus mengakomodir kesadaran politik warga negaranya.

Partisipasi Politik

Kesadaran partisipasi politik merupakan aspek penting dalam tatanan negara demokrasi sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik yang berkelanjutan. Anggapan negatif masyarakat terhadap politik selama ini harus diperbaiki. Agar partisipasi politik menjadi urgent dan relevan, partisipasi politik harus diikuti dengan pendidikan politik. Yang memberikan pemahaman tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk menyiapkan masyarakat untuk membenahi masalah sosial dalam kehidupannya. Pendidikan politik juga dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat, serta memaksimalkan partisipasi aktif masyarakat dalam berpolitik agar tidak ada lagi politik identitas, politisasi agama, serta polarisasi sosial di tengah masyarakat.

Pengertian Edukasi Politik

Apa yang dimaksud dengan pendidikan politik atau edukasi politik? Edukasi politik secara makro adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika dikaitkan dengan partai politik, edukasi politik secara mikro diartikan sebagai usaha mentransformasi dan memformulasikan secara sistematis perjuangan partai politik kepada massanya agar mereka sadar akan peran dan fungsi, serta hak dan kewajibannya sebagai manusia dan warga negara.

Baca juga:  Kendali IPO bagi Jiwa

Kenapa perlu edukasi politik? Saat ini, masyarakat semakin apatis terhadap keberadaan politik. Sikap sinisme sudah menguasai pola pikir dan cara pandang masyarakat. Politik diidentikkan dengan permainan kotor, culas, kemaruk, money politic, character assasignation, kebohongan publik, kebobrokan moral dan intoleransi politik. Bahkan, masyarakat menganggap politik itu bukan urusan mereka. Itu urusan Pemerintah. Karena pengalaman selama ini, masyarakat hanya kebagian “pepesan kosong”. Idealisme politik berbanding terbalik dengan realitas politik.

Edukasi politik itu penting agar setiap warga negara mampu memilih wakil rakyat dan pemimpin yang mampu dan mau mensejahterakan masyarakatnya. Saat ini, banyak masyarakat tidak peduli siapa wakil mereka di DPR dan siapa pemimpin pemerintahan. Itu karena mereka menganggap semua akan sama saja. Tidak ada bedanya, karena tidak akan terjadi perubahan yang signifikan. Kenapa begini? Karena masyarakat tidak mengerti tentang peran pentingnya politik baginya. Yang mereka perdulikan sekarang adalah siapa yang mau dan berani membayar mereka untuk bisa dipilih. Wani piro? Itulah jargon politik saat ini. Politik transaksional.

Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan kembali terulang, diperlukan edukasi politik kepada masyarakat oleh KPU, parpol, LSM, Komunitas, Tokoh Masyarakat dan Ormas di berbagai wilayah di Indonesia. Memang sudah saatnya edukasi politik diberikan pada masyarakat di semua kalangan dan usia. Jika perlu dalam bentuk kegiatan yang nyata. Bukan hanya yang tertera pada UU partai politik ataupun menjadi program-program di atas kertas tanpa realisasi. Bukan lagi cerita tentang retorika, tetapi langkah nyata sebagai bukti kerja

Tujuan Edukasi Politik

  1. Edukasi Politik bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, khususnya pemilih pemula atau generasi muda. Juga untuk menumbuhkembangkan jiwa nasionalisme dengan ikut serta dalam pembangunan demokrasi.
  2. Membawa para elite politik untuk bekerja keras dan cerdas mewujudkan masyarakat yang bermartabat dan sejahtera. Politik tidak jelek atau kotor asal tahu bagaimana berpolitik yang baik dan muaranya demi kepentingan masyarakat.
  3. Mengajak partisipasi masyarakat dalam Pemilu, khususnya pemilih pemula. Harapannya agar dapat berpartisipasi secara aktif, tidak hanya datang ke TPS untuk menyalurkan hak pilihnya tetapi juga ikut serta sebagai penyelenggara pemilihan

 Faktor Pendukung

  1. Edukasi politik harus dikembangkan untuk meningkatkan dan memantapkan kesadaran politik dan kenegaraan. Selain menunjang kelestarian Pancasila dan UUD 1945 sebagai budaya politik bangsa, edukasi politik harus dapat menciptakan sistem politik yang demokratis, stabil, efektif dan efisien. Edukasi politik harus dapat berfungsi memberikan isi dan arah dalam proses perubahan kehidupan politik yang sedang dilakukan dewasa ini.
  2. Edukasi politik menjadi kebutuhan darurat bagi masyarakat, karena berbagai faktor yang saling mempengaruhi. Edukasi politiklah yang dapat membentuk perasaan sebagai warga negara yang benar, membangun individu dengan sifat-sifat yang seharusnya, lalu mengkristalkannya sehingga menjadi nasionalisme yang sebenarnya. Edukasi Politik kepada masyarakat memiliki tujuan mulia, yaitu membangun Etika dan Budaya Politik.
  3. Politik dianggap menjadi penyebab beberapa permasalahan bangsa. Pandangan skeptis masyarakat awam terhadap politik tersebut perlu diluruskan, karena politik dalam demokrasi adalah penentu langkah masa depan bangsa. Politik dan demokrasi seperti dua sisi mata uang. Keduanya memiliki nilai yang sama dan saling menguatkan, namun anggapan negatif masyarakat terhadap politik harus diperbaiki. Dalam hal ini, pendidikan politik menjadi penting dalam memberikan pemahaman akan sistem dan proses di dalamnya.
Baca juga:  Dasein, Toleransi dan Geopolitik

Benefit

  1. Memberikan pemahaman tentang partisipasi politik dalam pemilu terkait dengan voting atau pemungutan suara untuk memilih wakil rakyat. Perlu mengenali Bakal Calon meliputi : Sumber informasi bakal calon mengenai program kerja maupun track recordnyal; Proses di mana pemilih ikut dalam melakukan pemungutan suara; Pasca pemilihan, apakah mereka berhasil di legislatif dan menjalankan program yang telah dijanjikan ketika berkampanye.
  2. Memiliki orientasi terhadap program kerja dan track record calon wakil rakyat. Edukasi politik juga harus dilakukan partai pengusung calon maupun pihak lainnya. Dilakukannya bukan hanya menjelang pemilu saja. Tetapi secara periodik dan berkelanjutan. Sehingga dapat meningkatkan stock of knowledge bagi pemilih terkait pemilu maupun politik.
  3. Edukasi politik meningkatkan kepercayaan pemilih terhadap kapasitas calon. Termasuk peran dari media sosial dalam mengkampanyekan berita-berita politik. Baik itu prestasi maupun pribadi calon-calon yang diusung. Meskipun media sosial juga dapat menjadi black campaign dalam memberikan berita-berita bohong informasi calon wakil rakyat tertentu.
  4. Bagi lembaga pendidikan/lembaga masyarakat yang peduli edukasi politik. Peningkatan edukasi politik dari stakeholder akan meningkatkan pula modal intelektual para pemilih pemula. Fungsi edukasi adalah meningkatkan kemampuan literasi yang akan mempermudah penjaringan informasi dalam memilih calon atau partai yang akan dipilih.
  5. Untuk melihat track record calon, dapat dilihat dari keanggotaan partai politik calon, latar belakang calon melalui akses yang diberikan oleh KPU dan dari berbagai media. Sehingga pemilih dapat membandingkan informasi yang didapat, kemudian menyaring informasi sepadat mungkin dan selektif agar tidak mudah terbawa arus black campaign.
  6. Edukasi politik masyarakat di desa harus terus digiatkan. Kepala desa agar selalu memberikan pengarahan atau sosialisasi kepada masyarakat, membimbing masyarakat, menjalin kerja sama dengan masyarakat, dan selalu menerapkan gotong royong.
  7. Edukasi politik harus dapat menyatukan pemahaman masyarakat dalam rangka menjalankan proses politik berdemokrasi dengan tetap memperhatikan norma-norma atau kaidah yang ada, beretika dan santun, serta tetap berpegang teguh pada falsafah dan kepribadian bangsa.
Baca juga:  Apakah THR dan BLT Wujud Jaminan Kesejahteraan?

Beberapa Hal yang Perlu Disimak

  1. Dalam kaitannya dengan pemilu, edukasi politik harus dapat menjelaskan ke masyarakat jika memilih dan menjalankan pemerintahan adalah dua hal berbeda. Partisipasi politik setelah pemilu menjadi penting agar negara mendapatkan penyeimbang kekuasaan.
  2. Edukasi politik harus mampu memberi pemahaman jika pemilu membawa demokrasi prosedural ke demokrasi substansial. Indikatornya: Akuntabilitas Vertikal – publik mendapatkan haknya menerima pertanggungjawaban dan transparansi pemerintah; Akuntabilitas Horizontal – sistem ketat di antara lembaga negara untuk saling melakukan pengawasan dan pertanggungjawaban; dan Akuntabilitas Societal, di mana fungsi kontrol dari LSM atau media massa terhadap jalannya pemerintahan berjalan baik atau kuat.
  3. Ada dua hal penting dalam peningkatan edukasi politik masyarakat. Pertama, sebagai jalan masuk dan bukan proses menjalankan pemerintahan itu sendiri. Kedua, pemilu tak berarti memilih A dan menghilangkan B, melainkan memilih A untuk otoritas tertentu dan B untuk otoritas lainnya. Pembagian kekuasaan yang dikenal masyarakat dengan istilah negatif, yakni “bagi-bagi kursi” harus dikonstruksi sebaliknya.
  4. Edukasi politik memberikan pemahaman kepada masyarakat agar tak alergi untuk berdemokrasi dengan benar. Harus berani pula mengkritik proses “bagi-bagi duit maupun sembako” dalam upaya memenangkan kandidat.
  5. Edukasi politik harus dapat menyampaikan pesan agar pemilu tidak lagi mengakomodir kontestan yang gagap kompetensi dan mengandalkan konsep sesat pikir. Kompetensi akademis penting karena peran legislatif sebagai pembuat rancangan undang-undang
  6. Edukasi politik harus dapat menyampaikan pesan, sekaligus menjaring Calon yang memiliki pengalaman kerja mumpuni dan dapat dipertanggungjawabkan. Serta memiliki rekam jejak bersih diri yang tidak melanggar norma hukum, norma sosial maupun asas kepatutan.

Akhir kata, memang diakui bahwa mengedukasi masyarakat dalam rangka meningkatkan edukasi politik sangat berat, sehingga semua elemen masyarakat harus bekerja sama untuk menuntaskan agenda Pemilu 2024. Kita sadar, jika berbicara politik hendaknya dimaksudkan sebagai debat kebijakan, bukan kasak-kusuk elit berebut kekuasaan (Najwa Shihab). Karena sejatinya, politik itu tidak busuk dan kejam, tapi kelakuan para politisi yang koruplah yang membuat politik menjadi busuk dan kejam. Edukasi publik hendaknya melahirkan sebuah pemahaman jika sungguh merugi hidup bangsa, jika energi habis tumpah mengurus gaduh politik yang durhaka. Oleh karena itu, edukasi politik harus mampu menciptakan sistem demokrasi yang matang, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kesantunan, kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan keterbukaan.