Porosmedia.com, Sejarah – Perjanjian Giyanti menjadi awal perpecahan di kubu Mataram. Mataram merupakan Kerajaan Islam terbesar di Pulau Jawa. Kerajaan ini bertekad untuk menyatukan seluruh wilayah Jawa. Awalnya, hampir semua wilayah Jawa telah bersatu, kecuali pada wilayah Banten dan Cirebon. Pada 13 Februari 1755, Kerajaan ini terbelah menjadi 2 bagian. Bagaimana perpecahan ini bisa terjadi? Simak ulasannya berikut.
Latar Belakang Perjanjian Giyanti
Perjanjian ini tidak lepas dari serentetan peristiwa besar yang menimbulkan banyak kerugian. Tidak hanya kerugian materi saja, namun juga kerugian non materi karena banyak tokoh yang gugur menjadi korban. Berikut latar belakang yang mengawali terbentuknya Perjanjian Giyanti.
1. Persiapan Perang Jenar / Mangkubumen
Kerajaan Mataram sebenarnya sudah mulai hancur dari dalam. Para petingginya saling berebut kekuasaan hingga menimbulkan perang saudara yang berkepanjangan. Salah satunya terjadi pada peristiwa perang Jenar atau Mangkubumen. Perang ini secara garis besar membelah menjadi 2 kubu besar. Kubu pertama yaitu dari Pangeran Mangkubumi beserta seluruh pasukannya.
Kubu yang kedua yaitu Sunan Pakubuwono III yang bekerja sama dengan pasukan kompeni atau VOC. Pasukan Pangeran mangkubumi sebenarnya sudah hampir menang dan berhasil menguasai semua wilayah, namun masih menyisakan wilayah Bagelen (dekat dengan Banyumas dan Kebumen). Pada perebutan wilayah terakhir inilah, peperangan mulai terjadi antara 2 kubu.
2. Terjadinya Perang Jenar / Mangkubumen
Masing-masing kubu sudah mempersiapkan segala hal untuk perang. Termasuk jumlah pasukan, senjata, dan perbekalan yang cukup. Kubu dari Sunan Pakubuwono III terdiri atas pasukan dari Banyumas dan dibantu oleh pihak kompeni. Mereka telah siap bertempur dan menuju daerah Panjer (saat ini berubah menjadi Kebumen).
Setelah pasukan dari Pangeran mangkubumi datang, pertempuran pun terjadi, Perang saudara ini terjadi di bagian barat sungai Bogowonto-Bagelen. Perang ini begitu dahsyat sampai menimbulkan banyak korban gugur. Terutama pada kubu kompeni, pasukannya banyak yang gugur dan hanya menyisakan sekitar 40 orang saja. Pangeran Mangkubumi bisa dikatakan keluar sebagai pemenang dalam perang ini.
3. VOC Mengajukan Perdamaian
VOC atau kompeni merasa “kalah” dalam perang ini. Beberapa tokoh besar di dalamnya telah gugur, pasukannya hanya tersisa segelintir orang saja. Begitu juga dengan kubu Sunan Pakubuwono III, pasukan dan petingginya banyak yang gugur saat berperang. Berdasarkan pada situasi yang mencekam inilah kemudian VOC berusaha membujuk Pangeran Mangkubumi untuk berunding.
Perundingan tersebut jelas bertujuan untuk menciptakan perdamaian. Perang saudara yang terjadi di Mataram ternyata sangat berpengaruh besar pada semua hal. Tidak hanya untuk tatanan pemerintahan di dalam Mataram saja, namun juga untuk kelancaran aktivitas dagang dari VOC atau kompeni.
4. Terbentuknya Perjanjian Giyanti
Setelah cukup lama membujuk Pangeran Mangkubumi, akhirnya ditemui lah titik terang. 3 tokoh utama dalam perundingan ini yaitu, Pangeran Mangkubumi, Sunan Pakubuwono III, dan Harligh (salah satu petinggi VOC). Mereka sepakat membentuk sebuah perjanjian besar. Perjanjian ini dibuat sebagai bukti bahwa pertikaian antara mereka telah berakhir damai.
Perjanjian ini ditandatangani di Desa Janti, namun masyarakat Jawa menyebutnya sebagai Giyanti. Saat ini daerah tersebut berubah menjadi Dukuh Kerten, Kecamatan Jantiharjo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Sejak tanggal 13 Februari 1755 itulah, perang saudara di Mataram berhasil diredam untuk “sementara”.
Isi Perjanjian Giyanti
Perjanjian Giyanti akhirnya telah berhasil dibentuk dan resmi ditandatangani oleh pihak terkait. Berikut isi dari perjanjian tersebut:
1. Pasal 1
Pangeran Mangkubumi mendapat gelar baru yaitu Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah. Pangeran Mangkubumi mendapatkan hak dari sebagian wilayah Kesultanan Mataram, dan bisa diwariskan pada keturunannya yaitu Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
2. Pasal 2
Rakyat yang berada di bawah naungan VOC akan diupayakan menjalin kegiatan kerjasama kepada rakyat yang ada di bawah naungan kesultanan.
3. Pasal 3
Pepatih Dalem atau Rijks-Bestuurder serta Bupati, harus berjanji dan bersumpah akan setia kepada VOC, sumpah ini disaksikan oleh Gubernur. Setelah itu, mereka boleh melaksanakan tugas dan wewenang masing-masing. Pepatih Dalem merupakan pemimpin yang menjalankan tugas eksekutif, tugas ini harus berdasarkan persetujuan Gubernur.
4. Pasal 4
Sri Sultan tidak diperbolehkan mengangkat atau memberhentikan kekuasaan Pepatih Dalem atau Bupati. Semua keputusan tersebut harus melalui persetujuan VOC.
Lanjut Pasal 5 di halaman berikutnya >>>