Porosmedia.com, Sejarah – Perjanjian Hudaibiyah merupakan tonggak awal kemenangan Islam pada masa itu. Meskipun sebenarnya perjanjian ini belum terencana sebelumnya, namun dari sini lah kemudian Islam bangkit dan berani melawan.
Nabi Muhamad SAW merupakan pimpinan dari ribuan umat Islam yang ikut berjuang dalam peristiwa ini. Mereka melawan kaum Quraisy yang memang sebelumnya telah membenci pasukan Islam.
Latar Belakang Perjanjian Hudaibiyah
Perjanjian Hudaibiyah diawali oleh perjalanan yang cukup panjang. Latar belakang yang mendasarinya yaitu:
1. Berawal dari Mimpi
Nabi Muhammad SAW telah mendapatkan mimpi yang penuh makna. Dalam mimpi tersebut, Nabi Muhammad SAW diminta untuk mengajak umatnya pergi umroh ke Mekah. Mereka kemudian tawaf dan beribadah di dalam Masjidil Haram dengan aman dan khusyuk. Peristiwa ini terjadi pada tahun 6 Hijriah. Mimpi ini bahkan juga diabadikan dalam Alquran, yaitu pada surat Al-Fath ayat 27.
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya, (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, mencukur rambut dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.”
2. Rencana Keberangkatan Umroh
Setelah mendapatkan mimpi tersebut, Nabi Muhammad SAW pun segera menyampaikan hal ini kepada umatnya. Beliau merupakan utusan Allah, tentu saja semua yang terjadi memang benar apa adanya dan mereka percaya bahwa Allah tidak pernah ingkar dalam setiap firman-Nya. Setelah selesai menyampaikan wahyu dari Allah maka Nabi Muhammad dan umatnya bergegas menyiapkan diri.
Nabi Muhammad SAW segera mengajak warga Madinah untuk menyiapkan kebutuhan dan perlengkapan untuk bekal umroh. Umat Islam Madinah begitu gembira setelah mendengar wahyu ini. Mereka sudah 6 tahun bersabar karena tidak bisa berkunjung ke Mekah untuk umroh atau haji. Persiapan rencana umroh ini terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun ke-6 Hijriah atau 638 Masehi.
3. Tanggapan Kaum Quraisy
Wahyu tentang keberangkatan umroh dari Nabi Muhammad ternyata sudah sampai pada kaum Quraisy yang ada di Mekah. Memang sudah bukan lagi rahasia, bahwa antara kaum Quraisy (Mekah) dan kaum Muhajirin-Anshar (Madinah) telah mengalami perselisihan. Kaum Quraisy merupakan kaum terbesar yang sangat membenci dan memusuhi kaum Muslimin.
Setelah mendengar kabar bahwa Nabi Muhammad SAW dan umatnya kan memasuki Kota Mekah, tentu membuat mereka geram dan “panik”. Kaum Quraisy segera menyiapkan ribuan pasukan untuk menghadang Nabi Muhamad SAW dan umatnya. Mereka berusaha mencegah agar kaum Muslimin tidak melakukan ibadah umroh di Mekah.
4. Perjalanan Umroh dan Upaya Diplomasi
Di sisi lain, Nabi Muhammad SAW dan umatnya telah bertolak dari Madinah menuju Mekah. Setibanya di Kota Asfan, mereka bertemu salah seorang yang membawa kabar bahwa kaum Quraisy telah siap menghadang dengan ribuan pasukan perang. Mendengar kabar tersebut, Nabi Muhammad SAW kemudian berupaya untuk meredamnya.
Nabi Muhammad mengutus sahabatnya, yaitu Usman Bin Affan untuk menemui kaum Quraisy. Tujuannya adalah untuk berunding secara diplomasi agar tidak terjadi pertumpahan darah di tanah suci Mekah. Namun ternyata, Usman bin Affan justru disandera oleh pihak Quraisy. Hal ini jelas memicu kemarahan umat Islam dari Madinah yang kala itu sudah menempuh separuh perjalanan.
5. Perundingan Perjanjian Hudaibiyah
Kaum Muslimin sangat marah dan mengancam akan menyerang kaum Quraisy tanpa ampun jika Usman bin Affan tidak dibebaskan. Ancaman tersebut ternyata berhasil menakut-nakuti kaum Quraisy. Usman bin Affan pun dilepaskan dan kembali ke rombongan. Mereka akhirnya menerima ajakan Nabi Muhammad SAW untuk berunding menyelesaikan masalah.
Nabi Muhammad SAW mengutus sahabatnya yang lain, yaitu Suhail bin Amar untuk berunding bersama kaum Quraisy. Perundingan tersebut akhirnya telah menemui titik terang. Hasilnya dikenal dengan sebutan Perjanjian Hudaibiyah. Peristiwa ini terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun ke-6 Hijriah di Kota Hudaibiyah, letaknya sekitar 22 kilometer dari Mekah.
Isi Perjanjian Hudaibiyah
Perjanjian yang dilakukan oleh kaum Quraisy dan kaum Muhajirin-Anshar berisi tentang beberapa hal berikut:
1. Umroh Ditunda
Kesepakatan yang pertama adalah ditundanya ibadah umroh yang saat itu akan di laksanakan. Nabi Muhammad SAW dan umatnya boleh melaksanakan ibadah umroh pada tahun berikutnya.
2. Boleh Membawa Senjata yang Lazim
Kota Madinah dan Mekah berjarak cukup jauh. Semua rombongan Nabi Muhammad SAW boleh membawa senjata, namun hanya berupa tombak dan pedang yang disarungkan. Pada masa itu, kedua senjata ini sudah lazim dibawa oleh musafir saat berpergian dengan jarak yang jauh.
3. Menjalin Perdamaian Selama 10 Tahun
Perjanjian Hudaibiyah juga berisi tentang jalinan perdamaian yang berlaku selama 10 tahun. Maka, antara kaum Quraisy di Mekah dan kaum Muhajirin-Anshar di Madinah tidak boleh terlibat perselisihan dan peperangan.
4. Aturan Kunjungan
Terakhir, perjanjian ini mengatur tentang prosedur kunjungan. Saat Nabi Muhammad SAW dan umatnya dari Madinah datang ke Mekah, maka warga Mekah tidak perlu mengantar rombongan dari Madinah. Namun hal ini berlaku sebaliknya, saat kaum Quraisy dari Mekah berkunjung ke Madinah, maka warga Madinah harus mengantar kaum Quraisy ke Mekah.
Selain itu, ada aturan kunjungan lain yaitu saat warga Madinah berkunjung ke Mekah namun tidak melakukan ibadah haji. Jika benar demikian, maka tahun berikutnya mereka hanya boleh berkunjung ke Mekah selama 3 hari saja. Hal ini tentu membuat warga Madinah tidak bisa melakukan ibadah haji.
Pelanggaran Perjanjian Hudaibiyah
Baru 2 tahun berjalan, perjanjian ini sudah dilanggar oleh kaum Quraisy. Pelanggaran tersebut awalnya berupa perselisihan antara Kabilah Bani Khuza’ah (sekutu kaum Muslimin) dan Kabilah Bani Bakr (sekutu kaum Quraisy). Perselisihan tersebut mengakibatkan pertempuran yang juga melibatkan kaum Quraisy secara massal.
Akibat pertempuran tersebut, banyak pasukan dari pihak Bani Khuza’ah yang mati dibunuh oleh pasukan Quraisy. Peretmpuran ini menjadi pelanggaran paling berat terhadap perjanjian yang sudah disepakati oleh Nabi Muhammad SAW dan Abu Sufyan (pimpinan kaum Quraisy). Menurut catatan sejarah, Abu Sufyan sempat meminta maaf pada Nabi Muhammad SAW, namun ditolak. Wallahu a’lam bishowab.
Penulis Perjanjian Hudaibiyah
Perjanjian ini ditulis oleh sahabat Rasul yaitu Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib merupakan sahabat sekaligus menantu Nabi Muhammad, karena beliau telah menikah dengan Fatimah, puteri Nabi Muhammad SAW. Selain sebagai penulis naskah perjanjian, Ali bin Abi Thalib juga berperan sebagai saksi. Perjanjian ini telah disaksikan dan ditandatangani oleh beberapa tokoh penting, yaitu:
1. Kaum Muhajirin-Anshar (Madinah)
- Nabi Muhammad SAW
- Sakri
- Abu Bakar As-Shiddiq
- Abdurrahman bin ’Auf
- Umar bin Khattab
- Abdullah bin Suhail
- Sa’ad bin Abi Waqas
- Muhammad bin Maslamah
2. Kaum Quraisy (Mekah)
- Miqdad bin Hafsh
- Abu Sufyan
3. Kaum Quraisy yang Menghadang Kaum Muhajirin-Anshar
- Urwah bin Mas’ud
- Al-Hulais bin Al-Qamah
Perjanjian Hudaibiyah menjadi bukti bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan sosok yang pandai bernegosiasi, bahkan terhadap musuh terbesar sekalipun. Setelah kaum Quraisy melanggar, terjadi lah pertempuran besar antara kedua pihak. Namun atas kuasa Allah, pasukan Nabi Muhammad SAW berhasil menaklukan kaum Quraisy dan Kota Mekah.